Apakah saya masih sempat berpikir tentang nasionalisme saat membeli baju atau produk lainnya? Jujur saja, saya tidak pernah. Saya hanya mempertimbangkan tiga hal yaitu harga, selera dan kualitas dengan menempatkan harga menjadi hal yang terpenting. Jika tidak terjangkau maka saya melupakan untuk membelinya. Tetapi jika harga terjangkau maka saya segera membelinya sedang kualitas dan selera dapat dikompromikan kemudian. Saya yakin sebagian besar masyarakat Indonesia juga berprilaku sama seperti saya.

Untuk sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk saya, nasionalisme hanya akan muncul jika kedaulatan bangsa ini terusik seperti jika pulau Ambalat diganggu atau jika batik diaku negara tetangga atau jika para TKI disiksa, barulah nasionalisme itu berkobar. Tetapi untuk urusan sekedar membeli baju, rasa itu terkesan terlalu “agung” jika dimunculkan. Nasionalisme tidak pernah ada dalam dompet saya karena yang ada hanyalah uang dan saya membayar baju tersebut dengan uang bukan dengan nasionalisme.

Itu saya dulu, sekarang beda. Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada tahun 2010 telah mengusik rasa nasionalisme dan menyadarkan saya. Produk-produk dari “Panda Raksasa” ini telah terang-terangan dan legal masuk ke Indonesia dan telah dimulai dari sekarang. Produk dari industri tekstil adalah yang pertama kali masuk dan akan terus berlanjut sampai tahun 2020 untuk produk-produk lainnya. Jumlah seluruhnya ada 228 kategori produk dari berbagai industri seperti dari industri besi, baja, kimia organik dasar, petrokimia, furnitur, pakaian, permesinan, kosmetik dan obat-obatan herbal.

China bukanlah negara yang mendahulukan kualitas untuk produk-produknya. Mereka lebih memilih tingkat harga yang rendah untuk produknya. Mereka rela menekan biaya produksi serendah-rendahnya dan tak pernah merasa bersalah serta tak punya malu untuk menjiplak secara “brutal” produk apa saja. Mereka senang menggangu sensitivitas harga dengan berani menjual produk paling murah dari yang termurah. Ini sungguh menakutkan! Karena mereka berbeda dengan kekuatan ekonomi lain yang biasanya mempunyai tingkat harga yang lebih tinggi dan lebih berkualitas untuk produk-produknya seperti produk dari Amerika, Jepang atau negara-negara Eropa.

Rasa nasionalisme tidak bisa menambah uang didompet untuk dapat membeli produk Indonesia yang lebih mahal walaupun kualitasnya lebih baik.

Dengan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah pasti banyak sekali yang tergoda untuk lebih memilih produk mereka ketimbang produk dari negeri sendiri. Alasannya sederhana, rasa nasionalisme tidak bisa menambah uang didompet untuk dapat membeli produk Indonesia yang lebih mahal walaupun kualitasnya lebih baik. Uang yang ada jumlahnya lebih dari cukup untuk membeli produk mereka, bahkan masih ada uang yang dapat tersisa, walaupun dengan standar kualitas yang seadanya. Ini kenyataan!

Lalu apa yang dapat kita perbuat dengan kondisi seperti ini? Banyak yang bisa dilakukan. Yang termudah, jika sebagai pembeli, adalah tidak membeli produk China kecuali dengan sangat, sangat dan sangat terpaksa. Jika ada uang lebih dan tidak ada kebutuhan yang mendesak maka kita selayaknya memilih dan membeli produk dalam negeri walaupun sedikit mahal. Karena ini akan sangat menolong ekonomi kita, sangat menolong produsen kita, sangat menolong pekerja kita, dan sangat menolong kita semua. Kemudian yang termudah, jika sebagai penjual, adalah dengan tidak menjadi penyalur atau penjual dari produk-produk mereka. Ini pasti sangat sulit karena berkaitan dengan sumber pencarian dan penghasilan tetapi patut dicoba sekuat-kuatnya.

Jadi mulai sekarang saya akan mempertimbangkan empat hal jika ingin membeli sesuatu yaitu asal produk, harga, selera dan kualitas dengan menempatkan asal produk dan harga menjadi dua hal yang terpenting. Saya berharap Anda juga melakukan hal yang sama seperti saya. Kalau bukan kita siapa lagi yang membela produk Indonesia? So… Made in China NO! Made in Indonesia YES!

Daftar produk-produk secara lengkap yang disepakati dalam ACFTA dapat diunduh di link ini.